Senin, 19 September 2011

Lajur Peluh


Melaju bersama dalam rintik gerimis pagi pekat
Cahaya remang menggigil di udara
Samarkan segala rupa alamat yang mengakar
Dari gulungan badai ingatan
Tersungkur bersama riak gelombang
Lajur nadi kegetiran membalikkan gema
Desah nafas gemetar pada buritan jukung

Pada ranting-ranting pohon melinju
Terpahat kental raut wajah letih tuamu
Yang runcing namun bertenaga
Di bawah panji-panji agung kesultanan
Tentang sajak yang belum selesai kutuliskan

Di tengah kebisuanmu dan redupnya lidah bianglala
Tangan tangguhmu masih mampu mengayuh peluh
Membelah angkuh Sungai Martapura
Menjaja isi jukung hingga dermaga
Martapura, 30 Juli 2011

Minggu, 11 September 2011

Pemuja Waktu Penggiring Asa

Pemuja waktu penggiring asa
kala tiba masa yang telah curam menyeberang dasar palung
ada sekerjap masa gelap pengap lumur debu
kotor lusuh dan noda ada pada sosok itu

bocah dengan kuncir kuda membagi tabur kerling goda menggoyang isi dada
putih kecil dan penuh kosong
menanti lelaki dengan kartu nama Pangeran berkuda putih yang tak tiba

asa-asa kian basa basah lenyap dirubung rebut pangeran palsu
dengan istana palsu
mahar palsu dan kuda putih palsu
menipu
lagi, dengan derai air mata menanti mata air

bocah kuncir dua tetap mencari pada gerombol yang sama
kala harap-harap telah jenuh mengangka maka
"Buummm" tibalah ia yang di puja


Martapura, 11-09-2011

Sabtu, 10 September 2011

Duhai laila, kembali menginjak putaran istimewaku, 20. (Untuk Sang Raja Pena)


Keheningan laila ketenangan di dadaku
Menjelma angka-angka keberuntunganku
Lailaku, kau selalu menguntitku rupanya
Ada yang berbeda nampaknya denganmu kali ini
Dalam dekap pekat dinginmu, ada Raja Pena di sampingku.
Ruas-ruas diri yang perlahan mengupas tiap hembus nafas yang basa
Tak istimewa, namun ini juga tak biasa laila

Adakah yang terlintas gejolak raung dalam batin?
Batinku, batinnya, atau batinmu laila?

Panggung-panggung itu
Pengeras suara itu
Penonton itu dan
Segenap sorak-sorai itu adalah batu beku yang kaku dalam balutan jubah megah sang laila
Meski ada detak nadi yang sempat tergores pekat lekat bahkan rapat
Dalam jiwa sang Raja Pena dan aku Permaisuri yang sempat disunting
Namun semua telah terlupakan
Menguap bersama kepulan asap rokok lelaki penyair gila yang menyesakkan ronggaku

Mengapa di tubuhmu kali ini tak ada angin laila?
Atau justru anginmu telah habis sekali hembus untuk mengangkasakan rasa yang sempat menggaung hebat itu?
Entahlah laila..
Segala yang kulibas rumputnya adalah akar belukar liar
Dan setelah belukar liar mengering  ia telah menjelma tali-tali pembentuk sesimpulku kancingku
Simpul pengerat rapat jalinan jemari karib yang akrab,
Dengar dan catat ini laila, Karib yang tak lagi dililit berbagai belit pelik.



#Catatan: Laila (bahasa Arab)= malam


Martapura, 20 Agustus 2011
20 Ramadhan 1432 H



Cerna dengan Ini


Letup-letup peledak kecil trus menggema di langitku Menjadi penutup genap hari yang pengap
Letup-letup peledak kecil makin semarak melukis langit malamku
Apa ini sebuah seremoni bahagia kawan?

Sangkaku iya, tapi juga sangkaku tidak
Tidak kawan, ini bukan pesta seperti sangkamu
Tak ada arak, tak ada tuak apalagi wisky,

Ini tabuhan pengiring genderang Ijrail,
Ia sudah di depan mata kawan
Namun suaranya sangkakala sedikit diturunkan dua oktaf
Nampak merdu bukan?

Bukalah segenap indramu,
Rasakan, resapi lalu cerna dengan dalam kawan,
Cerna dengan ini, milik kita yang tersuci
Maka kau akan tau jawabnya
karena#" Sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal darah.
Jika ia rusak, rusaklah seluruh kepribadiannya. Ingatlah, segumpal darah itu ialah hati" 
#HR.Ahmad

Martapura, 21 Agustus 2011
21 Ramadhan 1432 H

Sajak ini diterbitkan  di harian Media Kalimantan edisi Jumat, 26 Agustus 2011