Sabtu, 10 September 2011

Duhai laila, kembali menginjak putaran istimewaku, 20. (Untuk Sang Raja Pena)


Keheningan laila ketenangan di dadaku
Menjelma angka-angka keberuntunganku
Lailaku, kau selalu menguntitku rupanya
Ada yang berbeda nampaknya denganmu kali ini
Dalam dekap pekat dinginmu, ada Raja Pena di sampingku.
Ruas-ruas diri yang perlahan mengupas tiap hembus nafas yang basa
Tak istimewa, namun ini juga tak biasa laila

Adakah yang terlintas gejolak raung dalam batin?
Batinku, batinnya, atau batinmu laila?

Panggung-panggung itu
Pengeras suara itu
Penonton itu dan
Segenap sorak-sorai itu adalah batu beku yang kaku dalam balutan jubah megah sang laila
Meski ada detak nadi yang sempat tergores pekat lekat bahkan rapat
Dalam jiwa sang Raja Pena dan aku Permaisuri yang sempat disunting
Namun semua telah terlupakan
Menguap bersama kepulan asap rokok lelaki penyair gila yang menyesakkan ronggaku

Mengapa di tubuhmu kali ini tak ada angin laila?
Atau justru anginmu telah habis sekali hembus untuk mengangkasakan rasa yang sempat menggaung hebat itu?
Entahlah laila..
Segala yang kulibas rumputnya adalah akar belukar liar
Dan setelah belukar liar mengering  ia telah menjelma tali-tali pembentuk sesimpulku kancingku
Simpul pengerat rapat jalinan jemari karib yang akrab,
Dengar dan catat ini laila, Karib yang tak lagi dililit berbagai belit pelik.



#Catatan: Laila (bahasa Arab)= malam


Martapura, 20 Agustus 2011
20 Ramadhan 1432 H



Tidak ada komentar:

Posting Komentar